Sabtu, 13 Oktober 2012

Pesan Aji

Pesan Aji

“Maaf karena aku telah melukis luka
Maaf karena sifatku yang munafik
Maaf telah membuatmu meneteskan air mata
Bukan karena kau tak baik
Bukan karena kau tak menarik
Bukan pula karena dia lebih baik darimu
Mungkin ini yang dinamakan takdir
Mungkin ini jalan yang terbaik
Mungkin bukan aku yang terbaik untukmu
Carilah yang lebih dariku
Carilah yang terbaik untukmu
Carilah yang mengerti dirimu, BUKAN AKU”
 Pesan yang datang tak terduga. Pesan yang datang disaat aku tak mengharapkannya. Pesan yang dulu kunanti dari seseorang yang tak pernah ingin kulihat lagi sejak beberapa minggu kemarin. Pesan yang mengingatkanku akan kejadian yang tak pernah ingin terjadi dalam hidupku.
 Sudah cukup lama aku mengenalnya, tepatnya satu setengah semester selama aku bersekolah di SMA favorite ini. Dia terlihat lugu, pendiam, alim, dan pemalu. Rambutnya yang ikal berwarna kecoklatan dengan bulu mata yang lentik lebih lentik dari bulu mata perempuan, dan wajahnya yang menurutku cukup manis telah menarik perhatianku. Saat itu aku masih pendiam dan malu-malu, bahkan malu untuk tersenyum atau mengucapkan terimakasih kepada satu-satunya orang yang mengucapkan Happy Birthday diantara teman sekelas lainnya di hari ulang tahunku, meskipun hanya melalui jejaring sosial facebook.
 Aku sudah dapat menyesuaikan diri di kelas ini dan banyak yang mengenalku walaupun sebagian dari mereka  ada yang menyebutku dengan sebutan “Ketua Alay”. Masa-masa kelas X ini masa yang sangat menyenangkan. Terasa lebih menyenangkan saat aku sudah mulai akrab dengannya. Namanya Aji Zaelani, lelaki alim yang menarik perhatianku. Kupikir dia adalah orang yang tak suka diajak bercanda. Ternyata pikiranku tentangnya sangat salah. Dia humoris, murah senyum, dan selalu membuat hari-hariku di kelas ceria.
“hei salsa, sekarang jabatan kamu sebagai ketua alay berakhir. End !”. mimik wajah dan gayanya yang lucu tak henti-hentinya membuatku tertawa terbahak-bahak.
“terus? Bangga?”. Wajahku yang agak tengil, hingga membuatnya menahan tawa. Terlihat jelas ia menahan tawa dari bibirnya yang langsung bungkam, dengan tangan yang menutupi mulutnya.
“mantan ketua alay dan ketua alay perang...”. Panji yang sedang mengiringi Tora bernyanyi menggunakan gitar pun langsung menghentikan nyanyian Tora dan menghampiri perdebatan konyol antara aku dan Aji. Teman-teman yang lain hanya bisa menertawai tingkah laku kami yang mungkin menurut mereka lucu.
“helloo...”. Angga mencuri perhatian teman sekelas dengan suaranya yang melengking. Semua tertawa termasuk aku dan Aji. Masa-masa seperti ini tak akan pernah kulupakan.
 Saat tak ada guru, beginilah kegiatan kami di kelas. Ada yang foto-foto, main gitar, menyanyi, curhat, makan rujak, dan bolak-balik ke kantin yang berada tepat disamping kelasku. Saat itu Aji masih mengiringi nyanyianku dengan petikan suara gitarnya. Keakraban kami menjadi bahan ejekan teman dekatku Mira, Widya, dan Sisi. Jujur, meskipun hanya sebuah ejekan, tapi senangku bukan kepalang. Terkadang Aji menjauh, itu tak membuatku heran karena kutahu ada seseorang dikelas ini yang dia suka. Namanya Risa, dia cantik, baik, pintar, aktif, soleha, juga pendiam. Pada jam istirahat dimana semua anak pergi menuju kantin, ia selalu menyempatkan diri pergi ke Mushola untuk shalat duha, shalat yang saat itu jarang kulakukan sampai aku dekat dengan Dewi anak yang disukai oleh Panji dan juga Asrul.
 Kebiasaan buruk yang hampir setiap hari kulakukan dan terkadang Aji melakukannya, yaitu datang terlambat ke sekolah. Kali ini adalah kedua kalinya aku dan Aji datang terlambat bersamaan. Dari kejauhan terlihat Aji sedang merapikan rambut ikalnya yang berantakan setelah melepas helm dari kepalanya. Ia tersenyum saat melihatku lari tergesa-gesa menuju kelas. Kami berjalan dibelakang guru Agama yang hendak masuk ke kelas.
“rumah lu kan deket, kenapa bisa telat, ditambah lagi ke sekolah naik motor. Aneh...” sambil tertawa aku menegur Aji yang berjalan disampingku.
“ssstt... jangan berisik nanti ketauan!” Aji mempercepat langkahnya.
“ciee..”. Semua teman-teman dikelas bersorak saat kami tiba dikelas. Akupun langsung berlari sambil menahan malu karena datang terlambat. Widya tersenyum padaku sedangkan Ana menyiku lenganku.
“ciee salsa, pagi-pagi seneng banget nih”. Aku hanya bisa diam dan tak berhenti tersenyum.
 Pada jam pelajaran terakhir semuanya berkelompok untuk praktik drama seni budaya. Aku mulai merasa kesal dan cemburu saat mengetahui Aji lebih memilih masuk kelompok Risa dibanding kelompokku. Orang yang tak kusuka Asrul, masuk kelompokku yang terdiri dari orang yang tak dapat kelompok. Pikiranku buyar saat aku melihat Aji tertawa bersama Risa. Cerita yang akan ditampilkanpun belum terpikirkan olehku. Aku hanya dapat terdiam dan menunggu bel pulang sekolah, berharap cerita yang belum terpikirkan ini dijadikan tugas oleh guru. Doaku terkabul, bel berbunyi dan guru memberi tugas kepada kami yang belum mendapatkan cerita.
 Disetiap latihan drama sepulang sekolah, Aji selalu ada melihat kelompok dramaku latihan. Ia duduk di bangku paling pojok sambil makan mie ayam bersama teman-teman dekatnya Panji, Tora, dan Asrul. Selesai makan, ia berpindah ke bangku depan, dipasangnya headset ditelinga, bernyanyi dengan percaya dirinya. Sesekali ia menertawakanku dan itu membuatku salting.
 Upacara kali ini cukup banyak siswi yang pingsan salah satunya teman sekelasku Dela. Franda dan aku terus mengobrol, membicarakan soal pingsan dan menceritakan pengalamanku yang sudah tiga kali pingsan ini. Terdengar aneh memang, tapi setidaknya kami terhindar dari rasa bosan mendengarkan amanat pembina upacara yang katanya sedikit tetapi memakan waktu cukup lama.
“alhamdulillah ya sekarang gue gak pernah pingsan lagi, haha”. Celotehan terakhirku kepada Franda. Ia hanya diam dan terus mengerutkan keningnya akibat panasnya sinar matahari.
Sesampai di kelas tiba-tiba pandanganku buram, dadaku sesak,  tubuhku langsung lemas, dan terjatuh diatas paha Ana yang duduk disampingku.
“sa, kamu kenapa?”. Suara Ana terdengar semakin kecil. Aku mencoba kembali duduk tapi terjatuh lagi.
 Kubuka mata, kulihat orang-orang mengerumuni tempat dudukku.Jarum yang menancap di jilbabku sudah terlepas sehingga jilbab yang kukenakan terbuka. Mira membawakan segelas teh manis hangat. Semua orang bertanya “lu kenapa sa?” aku hanya dapat tertawa, tak ingin hanya karena ini wajah semua temanku menjadi serius.
“ih dasar! Situasi kayak gini masih bisa ketawa”. Elsa menepuk bahuku.
“emang gue kenapa sa?” tanyaku keheranan.
“tadi lu jatoh sambil megangin dada gitu” jawab Elsa.
 Sesekali aku bangun dan menoleh kebelakang apakah Aji mengkhawatirkanku? Yang terlihat ia biasa saja, itu membuatku sedikit kecewa. Aku semakin bertingkah seolah terjadi apa-apa denganku. Akhirnya Aji mulai melirik kerahku. Dia hanya bisa menertawaiku walaupun sebenarnya membuatku senang “haha, si salsa kenapa tuh? Makanya jangan jadi orang alay, pingsan kan jadinya. Semuanya... pilih Aji jadi ketua alay ya.. kandidat salsa telah tumbang” aku segera membalas perkataannya “boong, si Aji kan orang paling sombong di INDONESIA”.
continue...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pesan Aji

Pesan Aji

“Maaf karena aku telah melukis luka
Maaf karena sifatku yang munafik
Maaf telah membuatmu meneteskan air mata
Bukan karena kau tak baik
Bukan karena kau tak menarik
Bukan pula karena dia lebih baik darimu
Mungkin ini yang dinamakan takdir
Mungkin ini jalan yang terbaik
Mungkin bukan aku yang terbaik untukmu
Carilah yang lebih dariku
Carilah yang terbaik untukmu
Carilah yang mengerti dirimu, BUKAN AKU”
 Pesan yang datang tak terduga. Pesan yang datang disaat aku tak mengharapkannya. Pesan yang dulu kunanti dari seseorang yang tak pernah ingin kulihat lagi sejak beberapa minggu kemarin. Pesan yang mengingatkanku akan kejadian yang tak pernah ingin terjadi dalam hidupku.
 Sudah cukup lama aku mengenalnya, tepatnya satu setengah semester selama aku bersekolah di SMA favorite ini. Dia terlihat lugu, pendiam, alim, dan pemalu. Rambutnya yang ikal berwarna kecoklatan dengan bulu mata yang lentik lebih lentik dari bulu mata perempuan, dan wajahnya yang menurutku cukup manis telah menarik perhatianku. Saat itu aku masih pendiam dan malu-malu, bahkan malu untuk tersenyum atau mengucapkan terimakasih kepada satu-satunya orang yang mengucapkan Happy Birthday diantara teman sekelas lainnya di hari ulang tahunku, meskipun hanya melalui jejaring sosial facebook.
 Aku sudah dapat menyesuaikan diri di kelas ini dan banyak yang mengenalku walaupun sebagian dari mereka  ada yang menyebutku dengan sebutan “Ketua Alay”. Masa-masa kelas X ini masa yang sangat menyenangkan. Terasa lebih menyenangkan saat aku sudah mulai akrab dengannya. Namanya Aji Zaelani, lelaki alim yang menarik perhatianku. Kupikir dia adalah orang yang tak suka diajak bercanda. Ternyata pikiranku tentangnya sangat salah. Dia humoris, murah senyum, dan selalu membuat hari-hariku di kelas ceria.
“hei salsa, sekarang jabatan kamu sebagai ketua alay berakhir. End !”. mimik wajah dan gayanya yang lucu tak henti-hentinya membuatku tertawa terbahak-bahak.
“terus? Bangga?”. Wajahku yang agak tengil, hingga membuatnya menahan tawa. Terlihat jelas ia menahan tawa dari bibirnya yang langsung bungkam, dengan tangan yang menutupi mulutnya.
“mantan ketua alay dan ketua alay perang...”. Panji yang sedang mengiringi Tora bernyanyi menggunakan gitar pun langsung menghentikan nyanyian Tora dan menghampiri perdebatan konyol antara aku dan Aji. Teman-teman yang lain hanya bisa menertawai tingkah laku kami yang mungkin menurut mereka lucu.
“helloo...”. Angga mencuri perhatian teman sekelas dengan suaranya yang melengking. Semua tertawa termasuk aku dan Aji. Masa-masa seperti ini tak akan pernah kulupakan.
 Saat tak ada guru, beginilah kegiatan kami di kelas. Ada yang foto-foto, main gitar, menyanyi, curhat, makan rujak, dan bolak-balik ke kantin yang berada tepat disamping kelasku. Saat itu Aji masih mengiringi nyanyianku dengan petikan suara gitarnya. Keakraban kami menjadi bahan ejekan teman dekatku Mira, Widya, dan Sisi. Jujur, meskipun hanya sebuah ejekan, tapi senangku bukan kepalang. Terkadang Aji menjauh, itu tak membuatku heran karena kutahu ada seseorang dikelas ini yang dia suka. Namanya Risa, dia cantik, baik, pintar, aktif, soleha, juga pendiam. Pada jam istirahat dimana semua anak pergi menuju kantin, ia selalu menyempatkan diri pergi ke Mushola untuk shalat duha, shalat yang saat itu jarang kulakukan sampai aku dekat dengan Dewi anak yang disukai oleh Panji dan juga Asrul.
 Kebiasaan buruk yang hampir setiap hari kulakukan dan terkadang Aji melakukannya, yaitu datang terlambat ke sekolah. Kali ini adalah kedua kalinya aku dan Aji datang terlambat bersamaan. Dari kejauhan terlihat Aji sedang merapikan rambut ikalnya yang berantakan setelah melepas helm dari kepalanya. Ia tersenyum saat melihatku lari tergesa-gesa menuju kelas. Kami berjalan dibelakang guru Agama yang hendak masuk ke kelas.
“rumah lu kan deket, kenapa bisa telat, ditambah lagi ke sekolah naik motor. Aneh...” sambil tertawa aku menegur Aji yang berjalan disampingku.
“ssstt... jangan berisik nanti ketauan!” Aji mempercepat langkahnya.
“ciee..”. Semua teman-teman dikelas bersorak saat kami tiba dikelas. Akupun langsung berlari sambil menahan malu karena datang terlambat. Widya tersenyum padaku sedangkan Ana menyiku lenganku.
“ciee salsa, pagi-pagi seneng banget nih”. Aku hanya bisa diam dan tak berhenti tersenyum.
 Pada jam pelajaran terakhir semuanya berkelompok untuk praktik drama seni budaya. Aku mulai merasa kesal dan cemburu saat mengetahui Aji lebih memilih masuk kelompok Risa dibanding kelompokku. Orang yang tak kusuka Asrul, masuk kelompokku yang terdiri dari orang yang tak dapat kelompok. Pikiranku buyar saat aku melihat Aji tertawa bersama Risa. Cerita yang akan ditampilkanpun belum terpikirkan olehku. Aku hanya dapat terdiam dan menunggu bel pulang sekolah, berharap cerita yang belum terpikirkan ini dijadikan tugas oleh guru. Doaku terkabul, bel berbunyi dan guru memberi tugas kepada kami yang belum mendapatkan cerita.
 Disetiap latihan drama sepulang sekolah, Aji selalu ada melihat kelompok dramaku latihan. Ia duduk di bangku paling pojok sambil makan mie ayam bersama teman-teman dekatnya Panji, Tora, dan Asrul. Selesai makan, ia berpindah ke bangku depan, dipasangnya headset ditelinga, bernyanyi dengan percaya dirinya. Sesekali ia menertawakanku dan itu membuatku salting.
 Upacara kali ini cukup banyak siswi yang pingsan salah satunya teman sekelasku Dela. Franda dan aku terus mengobrol, membicarakan soal pingsan dan menceritakan pengalamanku yang sudah tiga kali pingsan ini. Terdengar aneh memang, tapi setidaknya kami terhindar dari rasa bosan mendengarkan amanat pembina upacara yang katanya sedikit tetapi memakan waktu cukup lama.
“alhamdulillah ya sekarang gue gak pernah pingsan lagi, haha”. Celotehan terakhirku kepada Franda. Ia hanya diam dan terus mengerutkan keningnya akibat panasnya sinar matahari.
Sesampai di kelas tiba-tiba pandanganku buram, dadaku sesak,  tubuhku langsung lemas, dan terjatuh diatas paha Ana yang duduk disampingku.
“sa, kamu kenapa?”. Suara Ana terdengar semakin kecil. Aku mencoba kembali duduk tapi terjatuh lagi.
 Kubuka mata, kulihat orang-orang mengerumuni tempat dudukku.Jarum yang menancap di jilbabku sudah terlepas sehingga jilbab yang kukenakan terbuka. Mira membawakan segelas teh manis hangat. Semua orang bertanya “lu kenapa sa?” aku hanya dapat tertawa, tak ingin hanya karena ini wajah semua temanku menjadi serius.
“ih dasar! Situasi kayak gini masih bisa ketawa”. Elsa menepuk bahuku.
“emang gue kenapa sa?” tanyaku keheranan.
“tadi lu jatoh sambil megangin dada gitu” jawab Elsa.
 Sesekali aku bangun dan menoleh kebelakang apakah Aji mengkhawatirkanku? Yang terlihat ia biasa saja, itu membuatku sedikit kecewa. Aku semakin bertingkah seolah terjadi apa-apa denganku. Akhirnya Aji mulai melirik kerahku. Dia hanya bisa menertawaiku walaupun sebenarnya membuatku senang “haha, si salsa kenapa tuh? Makanya jangan jadi orang alay, pingsan kan jadinya. Semuanya... pilih Aji jadi ketua alay ya.. kandidat salsa telah tumbang” aku segera membalas perkataannya “boong, si Aji kan orang paling sombong di INDONESIA”.
continue...