Minggu, 19 Agustus 2012

Senyuman Terakhir Desy (cerpen)


N

Senyuman Terakhir Desy
amanya Desy, sejak lahir ia sudah tinggal di sebuah panti asuhan sampai akhirnya aku dan suamiku mengadopsinya saat Desy berusia 2 bulan. Kami sudah lama menikah, tetapi Allah belum menganugerahi kami seorang anak. Kami merawat Desy seperti anak kandung kami sendiri. Kami tinggal disebuah rumah sederhana yang penuh dengan kebahagiaan saat Desy datang ke kehidupan kami.
                Desy tumbuh menjadi anak yang baik. Saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu dicemooh oleh teman sekelasnya yang menyebut dirinya anak pungut. Semua cemoohan temannya tak membuat Desy merasa terkucilkan. “Desy, kamu anak pungut ya?” tanya teman sebangku Desy dengan polosnya. Desy hanya dapat terdiam menahan tangis. Ia merasa dirinya benar-benar bukan anak kandungku. Sesekali ia bertanya padaku “apa neng bukan anak asli mama?” kata Desy dengan wajah lugunya.“engga ko sayang, kata siapa? Temen kamu Cuma sirik aja kali” aku mencoba menghiburnya meskipun sebenarnya hatiku sedih sekali mendengar pertanyaan Desy. Aku takut jika kelak Desy mengetahui yang sebenarnya.
                Dari kecil ia mengidap asma. Menurut dokter penyakit asma yang diderita Desy adalah penyakit turunan. Aku berfikir mungkin orangtua Desy mengidap asma yang diturunkan kepada Desy sejak ia lahir. Hal ini membuatku tak tenang. Aku selalu mengantarkan Desy kesekolah, selalu menemaninya diluar kelas sampai ia beranjak remaja. Asma yang ia derita menyebabkan ia susah mengikuti praktek olahraga di sekolahnya.
                Saat Desy berada dikelas enam SD, aku membiarkannya pergi sekolah sendiri tanpa aku temani. Memang panik rasanya melepas anak yang biasanya selalu dalam pengawasanku. Kriiing...kriing... terdengar telepon berdering.
Halo assalamualaikum
Waalaikumsalam
Apa ini orangtua dari Desy Puspitasari?
Ya, benar
Ini telepon dari sekolah Desy, ada laporan dari guru olahraga kalau asma Desy kambuh
Oh begitu ya, iya terimakasih ya bu
                Kepanikanku bertambah saat menerima telepon dari sekolah Desy. Aku segera menutup telepon tanpa mengucapkan salam. Aku bergegas menuju sekolah dengan ojek langgananku. Sesampainya disana aku mencoba bersikap santai agar terlihat tenang. “lia, Desy mana?” tanyaku kepada keponakanku Lia yang juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Desy,“di ruang UKS wa”.
                Desy memiliki masalah dengan berat badannya, mungkin itu juga faktor penyebab asma yang ia derita. Tak tega melihat Desy terus menerus batuk dan meraskan sesak nafas. Aku segera membawa Desy ke klinik untuk memeriksakan keadaan Desy. “Alhamdulillah bu, Desy sudah mulai ada kemajuan. Asmanya berangsur membaik, ini Cuma batuk dan sesak nafas biasa kok. jangan sampai kecapean ya na!” mengelus rambut desy. Senang rasanya mendengar perkataan dokter.
                Setelah lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan, aku menyekolahkan Desy di SMP Negeri yang letaknya tak jauh dari SD nya dulu. Aku sudah tak khawatir lagi mengingat asma yang Desy derita berangsur membaik. Desy sudah menjadi anak remaja yang mandiri. Dia sudah mengerti keadaan keluargaku. Ekonomi keluargaku memburuk, suamiku dipecat, uang tabungan kami menipis dipakai untuk pengobatan Desy. Akhir-akhir ini kami sering sekali makan mie instan yang sebenarnya tak baik jika dikonsumsi berlebih. Apa boleh buat, yang terpenting adalah kebahagiaan Desy.
                Tak seperti biasanya wajah Desy terlihat begitu pucat pasi sepulang sekolah. Ia demam tinggi dan membutku khawatir. Dia tak mau aku bawa ke klinik ia hanya berkata “sayang mah uangnya”. Aku langsung terdiam mendengar perkataan desy. “ada kok uangnya, tenang aja ga usah khawatir neng!”. Suamiku hanya terdiam melihat perbincangan aku dan desy diluar kamar. Dia segera pergi seolah tak perduli dengan keadaan Desy yang memang bukanlah anak kandung kami.
                Dokter bilang Desy sakit tipus dan harus dirawat di rumah sakit. Tapi Desy terus menerus menolak untuk dirawat di rumah sakit, akhirnya aku merawatnya dirumah bersama ibuku. Sedangkan suamiku sedang berusaha mencari pekerjaan agar dapat membiayai pengobatan Desy.
                Sudah dua minggu Desy terbaring di tempat tidurnya. Desy tak mampu berjalan lagi. Tiba-tiba dia merasakan sakit di perutnya. Aku khawatir bukan kepalang. Aku membawanya ke klinik yang biasa kami datangi. Aku dan ibuku menggotongnya kesana dengan menaiki mobil pik-up milik kakakku. Diperjalanan Desy terus mengeluh kesakitan. Setelah diperiksa dokter, dokter berkata kalau Desy sakit maag kronis dan harus dirawat di rumah sakit. Untuk yang kedua kalinya Desy menolak untuk dirawat di rumah sakit dengan alasan yang sama.
                Tubuh Desy menjadi kurus. Berat badannya menurun drastis hingga lima belas kilogram. Sudah tiga bulan ia terbaring lumpuh dikamarnya. “Assalamu’alaikum..” terdengar suara banyak orang mengucap salam dari balik pintu. “waalaikumsalam.. eehh... ada temen-temen SD nya Desy pada dateng..”. semua teman dekat SD Desy datang kerumahku untuk menjenguk Desy dengan membawa bungkusan berisi makanan yang dibawa oleh salah satu temannya. Aku segera mempersilahkan mereka untuk masuk. Aku mengambil beberapa makanan ringan dari lemari es untuk teman-teman Desy.
                Desy terlihat sangat bahagia dengan kedatangan teman-teman SDnya. Desy terus tertawa melihat tingkah laku temannya yang konyol. Belum pernah aku melihat dia senyum dan tertawa seperti ini sejak ia sakit. “Des, lu jadi tambah langsing, putih dan cantik deh..” mendengar temannya bicara seperti itu Desy langsung tertawa dengan suaranya yang kecil, “ah elu ri! Gombal lu! Haha”.
                Sepulang teman-teman Desy, Desy menceritakan banyak hal tentang teman-temannya itu. Senang rasanya melihat Desy bisa seperti ini. “si fahri lucu ya mah, masa tadi dia ngegombalin aku hehe”, aku pun ikut tertawa mendengar ceritanya. Beberapa saat kemudian suamiku pulang kerumah membawa banyak bingkisan. “tadi siapa? Rame-rame kesini” dia bertanya dengan wajah yang bahagia. “ooh.. itu tadi temen-temen neng waktu di SD pa..” Desy menjawab dengan wajah yang berseri-seri.
                Malam ini terasa aneh, perasaanku tak enak. Desy terus saja berkata “ma, Desy mau ke atas”, aku dan suamiku segera memindahkannya keatas tempat tidur. “bukan itu ma, keatas sana tuh” menunjuk ke atas atap. Aku mengerti apa yang dimaksud Desy, tapi aku tak mau mengakuinya bahwa aku tahu maksudnya itu. Aku berpura-pura tak tahu dan bicara “masa ke genteng sih neng, nanti jatoh ah”. Aku bicara dengan logat betawiku agar terlihat biasa saja dibalik ketakutanku. “maafin neng ya mah kalau neng punya salah sama mama terus suka nyusahin mama” tiba-tiba saja Desy bicara seperti itu dan membuat mataku tak dapat membendung air mataku lagi. Aku hanya dapat berbicara dalam hati, ya Allah aku ikhlas jika ini waktunya, aku ikhlas ya Allah...
                Tepat pukul sebelas malam aku terbangun dari tidurku. Aku segera pergi menuju kamar Desy. Ia terlihat sedang tidur nyenyak. Kubelai rambutnya, terasa dingin saat menyentuh keningnya. Aku mulai meneteskan air mata. Terus menerus membelai rambutnya. “Bu...Pa... sini...” aku mulai panik dan segera memanggil semua orang yang ada dirumahku. “kenapa ma?” suamiku ikut panik saat melihat mataku yang berlinangan air mata. Dia menyentuh tangan, kaki, dan kening Desy. Memeriksa detak jantungnya, nafasnya, dan nadinya. Sampai akhirnya suamiku mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku tak tahan lagi berteriak “innalillahi wainnalillahi roji’uun..”. “Desy....” terlihat seperti drama di televisi memang, tapi inilah yang aku rasakan. Sedih, marah, rasa kehilangan, tapi ini semua terasa aneh. Sangat..sangat.. aneh! Untuk pertama kalinya aku merasakan seperti ini. Rasanya begitu menyiksa. Ya Allah.. maafkan hambamu ini yang terlalu sedih merasakan rasa tak ikhlas saat menerima semua ini, sesungguhnya kami hanyalah makhluk yang pasti akan kembali padamu.
                Desy dikebumikan tidak jauh dari rumah kami. Dia berada ditempat teduh dari yang paling teduh, wangi bunga dimana-mana, dan luas. Setiap hari aku berdoa untuknya. Selama hidupnya, dia belum pernah membuatku marah, dia belum pernah mengeluh tentang sikap teman-temannya yang sebenarnya aku tahu temannya banyak yang menjauihi Desy.
to be continue..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senyuman Terakhir Desy (cerpen)


N

Senyuman Terakhir Desy
amanya Desy, sejak lahir ia sudah tinggal di sebuah panti asuhan sampai akhirnya aku dan suamiku mengadopsinya saat Desy berusia 2 bulan. Kami sudah lama menikah, tetapi Allah belum menganugerahi kami seorang anak. Kami merawat Desy seperti anak kandung kami sendiri. Kami tinggal disebuah rumah sederhana yang penuh dengan kebahagiaan saat Desy datang ke kehidupan kami.
                Desy tumbuh menjadi anak yang baik. Saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu dicemooh oleh teman sekelasnya yang menyebut dirinya anak pungut. Semua cemoohan temannya tak membuat Desy merasa terkucilkan. “Desy, kamu anak pungut ya?” tanya teman sebangku Desy dengan polosnya. Desy hanya dapat terdiam menahan tangis. Ia merasa dirinya benar-benar bukan anak kandungku. Sesekali ia bertanya padaku “apa neng bukan anak asli mama?” kata Desy dengan wajah lugunya.“engga ko sayang, kata siapa? Temen kamu Cuma sirik aja kali” aku mencoba menghiburnya meskipun sebenarnya hatiku sedih sekali mendengar pertanyaan Desy. Aku takut jika kelak Desy mengetahui yang sebenarnya.
                Dari kecil ia mengidap asma. Menurut dokter penyakit asma yang diderita Desy adalah penyakit turunan. Aku berfikir mungkin orangtua Desy mengidap asma yang diturunkan kepada Desy sejak ia lahir. Hal ini membuatku tak tenang. Aku selalu mengantarkan Desy kesekolah, selalu menemaninya diluar kelas sampai ia beranjak remaja. Asma yang ia derita menyebabkan ia susah mengikuti praktek olahraga di sekolahnya.
                Saat Desy berada dikelas enam SD, aku membiarkannya pergi sekolah sendiri tanpa aku temani. Memang panik rasanya melepas anak yang biasanya selalu dalam pengawasanku. Kriiing...kriing... terdengar telepon berdering.
Halo assalamualaikum
Waalaikumsalam
Apa ini orangtua dari Desy Puspitasari?
Ya, benar
Ini telepon dari sekolah Desy, ada laporan dari guru olahraga kalau asma Desy kambuh
Oh begitu ya, iya terimakasih ya bu
                Kepanikanku bertambah saat menerima telepon dari sekolah Desy. Aku segera menutup telepon tanpa mengucapkan salam. Aku bergegas menuju sekolah dengan ojek langgananku. Sesampainya disana aku mencoba bersikap santai agar terlihat tenang. “lia, Desy mana?” tanyaku kepada keponakanku Lia yang juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Desy,“di ruang UKS wa”.
                Desy memiliki masalah dengan berat badannya, mungkin itu juga faktor penyebab asma yang ia derita. Tak tega melihat Desy terus menerus batuk dan meraskan sesak nafas. Aku segera membawa Desy ke klinik untuk memeriksakan keadaan Desy. “Alhamdulillah bu, Desy sudah mulai ada kemajuan. Asmanya berangsur membaik, ini Cuma batuk dan sesak nafas biasa kok. jangan sampai kecapean ya na!” mengelus rambut desy. Senang rasanya mendengar perkataan dokter.
                Setelah lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan, aku menyekolahkan Desy di SMP Negeri yang letaknya tak jauh dari SD nya dulu. Aku sudah tak khawatir lagi mengingat asma yang Desy derita berangsur membaik. Desy sudah menjadi anak remaja yang mandiri. Dia sudah mengerti keadaan keluargaku. Ekonomi keluargaku memburuk, suamiku dipecat, uang tabungan kami menipis dipakai untuk pengobatan Desy. Akhir-akhir ini kami sering sekali makan mie instan yang sebenarnya tak baik jika dikonsumsi berlebih. Apa boleh buat, yang terpenting adalah kebahagiaan Desy.
                Tak seperti biasanya wajah Desy terlihat begitu pucat pasi sepulang sekolah. Ia demam tinggi dan membutku khawatir. Dia tak mau aku bawa ke klinik ia hanya berkata “sayang mah uangnya”. Aku langsung terdiam mendengar perkataan desy. “ada kok uangnya, tenang aja ga usah khawatir neng!”. Suamiku hanya terdiam melihat perbincangan aku dan desy diluar kamar. Dia segera pergi seolah tak perduli dengan keadaan Desy yang memang bukanlah anak kandung kami.
                Dokter bilang Desy sakit tipus dan harus dirawat di rumah sakit. Tapi Desy terus menerus menolak untuk dirawat di rumah sakit, akhirnya aku merawatnya dirumah bersama ibuku. Sedangkan suamiku sedang berusaha mencari pekerjaan agar dapat membiayai pengobatan Desy.
                Sudah dua minggu Desy terbaring di tempat tidurnya. Desy tak mampu berjalan lagi. Tiba-tiba dia merasakan sakit di perutnya. Aku khawatir bukan kepalang. Aku membawanya ke klinik yang biasa kami datangi. Aku dan ibuku menggotongnya kesana dengan menaiki mobil pik-up milik kakakku. Diperjalanan Desy terus mengeluh kesakitan. Setelah diperiksa dokter, dokter berkata kalau Desy sakit maag kronis dan harus dirawat di rumah sakit. Untuk yang kedua kalinya Desy menolak untuk dirawat di rumah sakit dengan alasan yang sama.
                Tubuh Desy menjadi kurus. Berat badannya menurun drastis hingga lima belas kilogram. Sudah tiga bulan ia terbaring lumpuh dikamarnya. “Assalamu’alaikum..” terdengar suara banyak orang mengucap salam dari balik pintu. “waalaikumsalam.. eehh... ada temen-temen SD nya Desy pada dateng..”. semua teman dekat SD Desy datang kerumahku untuk menjenguk Desy dengan membawa bungkusan berisi makanan yang dibawa oleh salah satu temannya. Aku segera mempersilahkan mereka untuk masuk. Aku mengambil beberapa makanan ringan dari lemari es untuk teman-teman Desy.
                Desy terlihat sangat bahagia dengan kedatangan teman-teman SDnya. Desy terus tertawa melihat tingkah laku temannya yang konyol. Belum pernah aku melihat dia senyum dan tertawa seperti ini sejak ia sakit. “Des, lu jadi tambah langsing, putih dan cantik deh..” mendengar temannya bicara seperti itu Desy langsung tertawa dengan suaranya yang kecil, “ah elu ri! Gombal lu! Haha”.
                Sepulang teman-teman Desy, Desy menceritakan banyak hal tentang teman-temannya itu. Senang rasanya melihat Desy bisa seperti ini. “si fahri lucu ya mah, masa tadi dia ngegombalin aku hehe”, aku pun ikut tertawa mendengar ceritanya. Beberapa saat kemudian suamiku pulang kerumah membawa banyak bingkisan. “tadi siapa? Rame-rame kesini” dia bertanya dengan wajah yang bahagia. “ooh.. itu tadi temen-temen neng waktu di SD pa..” Desy menjawab dengan wajah yang berseri-seri.
                Malam ini terasa aneh, perasaanku tak enak. Desy terus saja berkata “ma, Desy mau ke atas”, aku dan suamiku segera memindahkannya keatas tempat tidur. “bukan itu ma, keatas sana tuh” menunjuk ke atas atap. Aku mengerti apa yang dimaksud Desy, tapi aku tak mau mengakuinya bahwa aku tahu maksudnya itu. Aku berpura-pura tak tahu dan bicara “masa ke genteng sih neng, nanti jatoh ah”. Aku bicara dengan logat betawiku agar terlihat biasa saja dibalik ketakutanku. “maafin neng ya mah kalau neng punya salah sama mama terus suka nyusahin mama” tiba-tiba saja Desy bicara seperti itu dan membuat mataku tak dapat membendung air mataku lagi. Aku hanya dapat berbicara dalam hati, ya Allah aku ikhlas jika ini waktunya, aku ikhlas ya Allah...
                Tepat pukul sebelas malam aku terbangun dari tidurku. Aku segera pergi menuju kamar Desy. Ia terlihat sedang tidur nyenyak. Kubelai rambutnya, terasa dingin saat menyentuh keningnya. Aku mulai meneteskan air mata. Terus menerus membelai rambutnya. “Bu...Pa... sini...” aku mulai panik dan segera memanggil semua orang yang ada dirumahku. “kenapa ma?” suamiku ikut panik saat melihat mataku yang berlinangan air mata. Dia menyentuh tangan, kaki, dan kening Desy. Memeriksa detak jantungnya, nafasnya, dan nadinya. Sampai akhirnya suamiku mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku tak tahan lagi berteriak “innalillahi wainnalillahi roji’uun..”. “Desy....” terlihat seperti drama di televisi memang, tapi inilah yang aku rasakan. Sedih, marah, rasa kehilangan, tapi ini semua terasa aneh. Sangat..sangat.. aneh! Untuk pertama kalinya aku merasakan seperti ini. Rasanya begitu menyiksa. Ya Allah.. maafkan hambamu ini yang terlalu sedih merasakan rasa tak ikhlas saat menerima semua ini, sesungguhnya kami hanyalah makhluk yang pasti akan kembali padamu.
                Desy dikebumikan tidak jauh dari rumah kami. Dia berada ditempat teduh dari yang paling teduh, wangi bunga dimana-mana, dan luas. Setiap hari aku berdoa untuknya. Selama hidupnya, dia belum pernah membuatku marah, dia belum pernah mengeluh tentang sikap teman-temannya yang sebenarnya aku tahu temannya banyak yang menjauihi Desy.
to be continue..