N
|
Senyuman
Terakhir Desy
amanya Desy, sejak lahir ia sudah tinggal di sebuah panti asuhan
sampai akhirnya aku dan suamiku mengadopsinya saat Desy berusia 2 bulan. Kami
sudah lama menikah, tetapi Allah belum menganugerahi kami seorang anak. Kami
merawat Desy seperti anak kandung kami sendiri. Kami tinggal disebuah rumah
sederhana yang penuh dengan kebahagiaan saat Desy datang ke kehidupan kami.
Desy tumbuh
menjadi anak yang baik. Saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu
dicemooh oleh teman sekelasnya yang menyebut dirinya anak pungut. Semua
cemoohan temannya tak membuat Desy merasa terkucilkan. “Desy, kamu anak pungut
ya?” tanya teman sebangku Desy dengan polosnya. Desy hanya dapat terdiam
menahan tangis. Ia merasa dirinya benar-benar bukan anak kandungku. Sesekali ia
bertanya padaku “apa neng bukan anak asli mama?” kata Desy dengan wajah
lugunya.“engga ko sayang, kata siapa? Temen kamu Cuma sirik aja kali” aku
mencoba menghiburnya meskipun sebenarnya hatiku sedih sekali mendengar pertanyaan
Desy. Aku takut jika kelak Desy mengetahui yang sebenarnya.
Dari kecil ia
mengidap asma. Menurut dokter penyakit asma yang diderita Desy adalah penyakit
turunan. Aku berfikir mungkin orangtua Desy mengidap asma yang diturunkan
kepada Desy sejak ia lahir. Hal ini membuatku tak tenang. Aku selalu
mengantarkan Desy kesekolah, selalu menemaninya diluar kelas sampai ia beranjak
remaja. Asma yang ia derita menyebabkan ia susah mengikuti praktek olahraga di
sekolahnya.
Saat Desy berada
dikelas enam SD, aku membiarkannya pergi sekolah sendiri tanpa aku temani.
Memang panik rasanya melepas anak yang biasanya selalu dalam pengawasanku. Kriiing...kriing...
terdengar telepon berdering.
Halo
assalamualaikum
Waalaikumsalam
Apa
ini orangtua dari Desy Puspitasari?
Ya,
benar
Ini
telepon dari sekolah Desy, ada laporan dari guru olahraga kalau asma Desy
kambuh
Oh
begitu ya, iya terimakasih ya bu
Kepanikanku
bertambah saat menerima telepon dari sekolah Desy. Aku segera menutup telepon
tanpa mengucapkan salam. Aku bergegas menuju sekolah dengan ojek langgananku.
Sesampainya disana aku mencoba bersikap santai agar terlihat tenang. “lia, Desy
mana?” tanyaku kepada keponakanku Lia yang juga bersekolah di sekolah yang sama
dengan Desy,“di ruang UKS wa”.
Desy
memiliki masalah dengan berat badannya, mungkin itu juga faktor penyebab asma
yang ia derita. Tak tega melihat Desy terus menerus batuk dan meraskan sesak
nafas. Aku segera membawa Desy ke klinik untuk memeriksakan keadaan Desy.
“Alhamdulillah bu, Desy sudah mulai ada kemajuan. Asmanya berangsur membaik,
ini Cuma batuk dan sesak nafas biasa kok. jangan sampai kecapean ya na!”
mengelus rambut desy. Senang rasanya mendengar perkataan dokter.
Setelah
lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan, aku menyekolahkan Desy di SMP
Negeri yang letaknya tak jauh dari SD nya dulu. Aku sudah tak khawatir lagi
mengingat asma yang Desy derita berangsur membaik. Desy sudah menjadi anak
remaja yang mandiri. Dia sudah mengerti keadaan keluargaku. Ekonomi keluargaku
memburuk, suamiku dipecat, uang tabungan kami menipis dipakai untuk pengobatan
Desy. Akhir-akhir ini kami sering sekali makan mie instan yang sebenarnya tak
baik jika dikonsumsi berlebih. Apa boleh buat, yang terpenting adalah
kebahagiaan Desy.
Tak
seperti biasanya wajah Desy terlihat begitu pucat pasi sepulang sekolah. Ia
demam tinggi dan membutku khawatir. Dia tak mau aku bawa ke klinik ia hanya
berkata “sayang mah uangnya”. Aku langsung terdiam mendengar perkataan desy.
“ada kok uangnya, tenang aja ga usah khawatir neng!”. Suamiku hanya terdiam
melihat perbincangan aku dan desy diluar kamar. Dia segera pergi seolah tak
perduli dengan keadaan Desy yang memang bukanlah anak kandung kami.
Dokter
bilang Desy sakit tipus dan harus dirawat di rumah sakit. Tapi Desy terus
menerus menolak untuk dirawat di rumah sakit, akhirnya aku merawatnya dirumah
bersama ibuku. Sedangkan suamiku sedang berusaha mencari pekerjaan agar dapat
membiayai pengobatan Desy.
Sudah
dua minggu Desy terbaring di tempat tidurnya. Desy tak mampu berjalan lagi.
Tiba-tiba dia merasakan sakit di perutnya. Aku khawatir bukan kepalang. Aku
membawanya ke klinik yang biasa kami datangi. Aku dan ibuku menggotongnya
kesana dengan menaiki mobil pik-up milik kakakku. Diperjalanan Desy terus
mengeluh kesakitan. Setelah diperiksa dokter, dokter berkata kalau Desy sakit
maag kronis dan harus dirawat di rumah sakit. Untuk yang kedua kalinya Desy
menolak untuk dirawat di rumah sakit dengan alasan yang sama.
Tubuh
Desy menjadi kurus. Berat badannya menurun drastis hingga lima belas kilogram.
Sudah tiga bulan ia terbaring lumpuh dikamarnya. “Assalamu’alaikum..” terdengar
suara banyak orang mengucap salam dari balik pintu. “waalaikumsalam.. eehh...
ada temen-temen SD nya Desy pada dateng..”. semua teman dekat SD Desy datang
kerumahku untuk menjenguk Desy dengan membawa bungkusan berisi makanan yang
dibawa oleh salah satu temannya. Aku segera mempersilahkan mereka untuk masuk.
Aku mengambil beberapa makanan ringan dari lemari es untuk teman-teman Desy.
Desy
terlihat sangat bahagia dengan kedatangan teman-teman SDnya. Desy terus tertawa
melihat tingkah laku temannya yang konyol. Belum pernah aku melihat dia senyum
dan tertawa seperti ini sejak ia sakit. “Des, lu jadi tambah langsing, putih
dan cantik deh..” mendengar temannya bicara seperti itu Desy langsung tertawa
dengan suaranya yang kecil, “ah elu ri! Gombal lu! Haha”.
Sepulang
teman-teman Desy, Desy menceritakan banyak hal tentang teman-temannya itu.
Senang rasanya melihat Desy bisa seperti ini. “si fahri lucu ya mah, masa tadi
dia ngegombalin aku hehe”, aku pun ikut tertawa mendengar ceritanya. Beberapa
saat kemudian suamiku pulang kerumah membawa banyak bingkisan. “tadi siapa?
Rame-rame kesini” dia bertanya dengan wajah yang bahagia. “ooh.. itu tadi
temen-temen neng waktu di SD pa..” Desy menjawab dengan wajah yang
berseri-seri.
Malam
ini terasa aneh, perasaanku tak enak. Desy terus saja berkata “ma, Desy mau ke
atas”, aku dan suamiku segera memindahkannya keatas tempat tidur. “bukan itu
ma, keatas sana tuh” menunjuk ke atas atap. Aku mengerti apa yang dimaksud
Desy, tapi aku tak mau mengakuinya bahwa aku tahu maksudnya itu. Aku berpura-pura
tak tahu dan bicara “masa ke genteng sih neng, nanti jatoh ah”. Aku bicara
dengan logat betawiku agar terlihat biasa saja dibalik ketakutanku. “maafin
neng ya mah kalau neng punya salah sama mama terus suka nyusahin mama”
tiba-tiba saja Desy bicara seperti itu dan membuat mataku tak dapat membendung
air mataku lagi. Aku hanya dapat berbicara dalam hati, ya Allah aku ikhlas jika
ini waktunya, aku ikhlas ya Allah...
Tepat
pukul sebelas malam aku terbangun dari tidurku. Aku segera pergi menuju kamar
Desy. Ia terlihat sedang tidur nyenyak. Kubelai rambutnya, terasa dingin saat
menyentuh keningnya. Aku mulai meneteskan air mata. Terus menerus membelai
rambutnya. “Bu...Pa... sini...” aku mulai panik dan segera memanggil semua
orang yang ada dirumahku. “kenapa ma?” suamiku ikut panik saat melihat mataku
yang berlinangan air mata. Dia menyentuh tangan, kaki, dan kening Desy.
Memeriksa detak jantungnya, nafasnya, dan nadinya. Sampai akhirnya suamiku
mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku tak tahan lagi berteriak “innalillahi
wainnalillahi roji’uun..”. “Desy....” terlihat seperti drama di televisi
memang, tapi inilah yang aku rasakan. Sedih, marah, rasa kehilangan, tapi ini
semua terasa aneh. Sangat..sangat.. aneh! Untuk pertama kalinya aku merasakan
seperti ini. Rasanya begitu menyiksa. Ya Allah.. maafkan hambamu ini yang
terlalu sedih merasakan rasa tak ikhlas saat menerima semua ini, sesungguhnya
kami hanyalah makhluk yang pasti akan kembali padamu.
Desy
dikebumikan tidak jauh dari rumah kami. Dia berada ditempat teduh dari yang
paling teduh, wangi bunga dimana-mana, dan luas. Setiap hari aku berdoa
untuknya. Selama hidupnya, dia belum pernah membuatku marah, dia belum pernah
mengeluh tentang sikap teman-temannya yang sebenarnya aku tahu temannya banyak
yang menjauihi Desy.
to be continue..